ARLINDO(Arus Lintas Indonesia)


Nama   : Sandrianti
Nim     : 1810715120004
Prodi    : Agrobisnis Perikanan



                                          Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)

Hasil gambar untuk arus lintas laut indonesia















  Pengertian ARLINDO
Arus adalah pergerakan massa air secara vertikal dan horisontal sehingga menuju keseimbangannya, atau gerakan air yang sangat luas yang terjadi di seluruh lautan dunia. Arus juga merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dikarenakan tiupan angin atau perbedaan densitas atau pergerakan gelombang panjang.
ARLINDO yang merupakan kependekan dari Arus Lintas Indonesia, atau lebih dikenal    oleh para ahli oseanographi dengan istilah "Indonesian Through Flow", adalah aliran massa air antar samudera yang melewati Perairan Indonesia. Sebagai negara yang diapit oleh dua lautan besar yakni Samudera Pasifik di bagian utara dan timur laut serta Samudera Hindia di bagian selatan dan barat daya Indonesia berlaku sebagai saluran bagi aliran massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Aliran massa air ini terjadi sebagai akibat adanya perbedaan tekanan antara kedua tersebut (WYRTKI 1987).  
ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) adalah arus dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia lewat selat-selat  yang disebabkan oleh perbedaan Tinggi Paras Laut antara kedua samudra tersebut. Arlindo merupakan bagian penting dalam sirkulasi samudra dunia dalam penghantaran panas (heat). Massa air yang terangkut oleh Arlindo dipengaruhi oleh adanya El Niño dan La Niña. Dampak El Niño dan La Niña terhadap kehidupan di laut Nusantara belum banyak dikaji. Terdapat beberapa kenyataan yang menunjukkan terjadinya pemutihan karang (coral bleaching) yang dapat dikaitkan dengan El Niño. Kajian terintegrasi mengenai El Niño perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi dampak negatif yang dapat ditimbulkannya.
Jalur Arlindo dimulai dari perairan antara Mindanao dan Halmahera, mengalir masuk melalui selat Makassar sebagai jalur utamanya. Setelahnya ia meninggalkan perairan Indonesia melalui selat Lombok dan sebagian besar lainnya berbelok melalui laut Flores, laut Banda dan memasuki samudra Hindia. Webster et al (1998) menyatakan bahwa aliran bahang Arlindo adalah dapat dibandingkan terhadap aliran bersih permukaan di utara samudra Hindia dan sejumlah fraksi substansial dari aliran bahangnya. Beberapa hasil model penelitian mengungkapkan ketergantungan suhu permukaan dan simpanan bahang permukaan samudra Pasifik dan Hindia terhadap arus lintas ini.  Di saat kondisi normal, laju Arlindo bergerak dari Samudra Pasifik ke  Samudra Hindia, dengan volume massa air rata-rata sekitar 10,5 juta meter kubik per detik.
Gordon (1999) menyatakan dari hasil pengamatan lapangan di Selat Makassar bahwa secara umum Arlindo bergerak ke arah selatan sepanjang tahun, akan tetapi ditemukan adanya arus di selat tersebut yang berarah ke utara tetapi nilainya tidak signifikan. Ketika terjadi La Niña, Indonesia secara umum mengalami musim hujan di atas normal sedangkan ketika terjadi El Niño, sebagian besar daerah Indonesia mengalami musim kemarau (Setiawan, 2002).
            Fenomena Arus Lintas Indonesia (Arlindo) menjadi salah satu ciri khas sistem arus di Indonesia. Arlindo merupakan suatu sistem sirkulasi laut di perairan Indonesia dimana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia. Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Wyrtki, 1961 dalam Fieux et al., 1996a).
Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh perbedaan tinggi muka laut antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, yaitu permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian timur, sehingga terjadi gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia (Hasanudin, 1998).
Arlindo membawa massa air Samudra Pasifik memasuki perairan Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur barat yang masuk melalui Laut Sulawesi lalu ke Selat Makassar, Laut Flores, dan ke Laut Banda. Jalur kedua adalah jalur timur yang melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera lalu ke Laut Banda. Massa air ini akan keluar menuju Samudra Hindia terutama melalui Laut Timor. Jalur keluar lainnya melalui Selat Ombai, yaitu selat antara Alor dan Timor, serta melalui Selat Lombok (Fieux, et al., 1996).
Sumber air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Lautan Pasifik bagian utara dan selatan.  Perairan Selat Makasar dan Laut Flores lebih banyak dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara sedangkan Laut Seram dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik Selatan.  Gordon et al. (1994) mengatakan bahwa massa air Pasifik masuk kepulauan Indonesia melalui 2 (dua) jalur utama, yaitu:

1.   Jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Lautan Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor.
2.   Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku terus ke Laut Banda.  Dari Laut Banda, menurut Gordon (1986) dan Gordon et al.,(1994) massa air akan mengalir mengikuti 2 (dua) rute.  Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan Selat Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia.
Keberadaan dan transpor massa air Arlindo yang melewati perairan Indonesia telah dideteksi pada beberapa wilayah yang menjadi jalur lintasan arus. Dari penelitian yang telah dilakukan Wijaya, et al (2011) didapatkan nilai transpor berkisar 1 s/d 22 Sv (1 Sv = 1 sverdrup = 106 m 3 /s). Nilai transpor massa air ini berbeda-beda tiap lintasan dan bervariasi terhadap musim. Penelitian-penelitian banyak terkonsentrasi di lintasan-lintasan utama seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat Ombai, dan Laut Banda.
Dari beberapa penelitian mengungkapkan ketergantungan suhu permukaan dan simpanan bahang (heat) permukaan Samudra Pasifik dan Hindia terhadap arus lintas ini. Kedua samudra tersebut akan sangat berbeda jika tanpa Arlindo (MacDonald, 1993). Ketiadaan Arlindo akan meningkatkan permukaan laut di Pasifik dan menurunkannya di Hindia sebanyak 2 s/d 10 cm. Sumber air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Lautan Pasifik bagian utara dan selatan. Perairan Selat Makasar dan Laut Flores lebih banyak dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara sedangkan Laut Seram dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik Selatan (Wyrtki, 1987).
Struktur massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi karakteristik massa air Lautan Pasifik dan sistem angin munson, dimana pada Musim Barat (Desember – Februari) bertiup angin munson barat laut di bagian utara ekuator dan barat daya di selatan ekuator. Karakteristik massa air perairan Indonesia umumnya ditandai dengan salinitas yang lebih rendah, sedangkan pada Musim Timur (Juni – Agustus) bertiup angin Muson tenggara di selatan ekuator dan timur laut di utara ekuator, perairan Indonesia memiliki karakteristik dengan nilai salinitas yang lebih tinggi (Hadi, 2006). Pada saat El Niño terjadi penurunan volume massa air yang bergerak dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Kekosongan massa air di wilayah perairan Indonesia tersebut kemudian mendorong munculnya upwelling yakni naiknya massa air laut dalam dengan ciri temperatur rendah, salinitas tinggi dan kaya akan nutrien, sehingga meningkatkan jumlah klorofil di perairan Indonesia yang dapat meningkatkan kesuburan perairan (Hadi, 2006).
Terjadinya arlindo terutama disebabkan oleh bertiupnya angin pasat tenggara di bagian selatan Pasifik dari wilayah Indonesia.  Angin tersebut mengakibatkan permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian timur.  Hasilnya terjadinya gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia.  Arus lintas Indonesia selama Muson Tenggara umumnya lebih kuat dari pada di Muson Barat Laut. Webster et al. (1998) menyatakan bahwa aliran bahang Arlindo adalah dapat dibandingkan terhadap aliran bersih permukaan di utara samudra Hindia dan sejumlah fraksi substansial dari aliran bahangnya’. Beberapa hasil model penelitian mengungkapkan ketergantungan suhu permukaan dan simpanan bahang permukaan samudra Pasifik dan Hindia terhadap arus lintas ini. Kedua samudra tersebut akan sangat berbeda jika tanpa Arlindo, Ketiadaan Arlindo akan meningkatkan permukaan laut di Pasifik dan menurunkannya di Hindia sebanyak 2-10 cm.
  Tiga faktor yang mempengaruhi variabilitas ARLINDO
1. Perubahan sirkulasi termoklin secara global selama Heinrich events yang dipicu oleh pendinginan belahan bumi bagian utara
2.  Meningkatnya pasokan air yang relatif tawar dari Laut Jawa akibat naiknya muka laut pada kurun waktu 60 – 47 ka
3.   Perubahan muson Australasia akibat insolasi dan diiringi oleh migrasi batas hidrologi Samudera Hindia dan ARLINDO pada kurun waktu 46 – 40 ka.
  Dampak yang ditimbulkan oleh ARLINDO bagi indonesia
keadaan topografi dasar perairan Indonesia sangat beragam. Hal ini berpengaruh besar terhadap bentuk aliran massa air dari Pasifik ke arah Samudera Hindia. Proses turbulensi, sinking, upwelling, down welling dan sebagainya sering terjadi mengiringi perjalanan ARLINDO ini. Dan biasanya proses-proses tersebut dikuti oleh proses fisis maupun proses-proses yang lain. Salah satu contoh adalah peristiwa upwelling yang terjadi di bagian barat Laut Flores, tepatnya di sebelah selatan Sulawesi. Proses ini disebabkan oleh "sill" yang berada di jalur yang dilalui oleh massa air Pasifik. Sill tersebut sering disebut dengan sill Dewakang. Adanya sill dengan kedalaman 550 meter di ujung akhir Selat Makassar ini menghalangi jalannya massa air dari Selat Makassar yang menuju ke Laut Flores, sehingga aliran massa air hanya terjadi pada kedalaman di atas 550 meter saja.
Aliran massa air pada bagian atas yang terjadi di Laut Flores ini seolah-olah menyeret lapisan air yang berada dibawahnya ke arah timur.oleh sebab itu terjadinya kekosongan massa air dibagian atas laut Flores bagian barat (di selatan Sulawesi ) Massa air di bagian bawah yang datang dari arah timur naik untuk mengisi kekosongan tersebut (GORDON et al. 1994). Naiknya massa air dari lapisan bawah yang kaya akan bahan "makanan" inilah yang menyebabkan perairan menjadi subur.
Peristiwa naiknya massa air dari lapisan bawah disebut dengan upwelling. Sill-sill serupa banyak terdapat di perairan Indonesia, khusunya diselat-selat yang dilalui Arus Lintas Indonesia. Bahkan menurut GROEN (1965). hampir semua cekungan laut yang ada di Indonesia memiliki sill. Oleh sebab proses seperti diatas besar kemungkinan juga terjadi di tempat-tempat lain. Perairan Indonesia bagian timur seperti Laut Banda, Laut Arafura. Laut Maluku terkenal sehagai daerah upwelling yang subur. Ini terjadi karena pada musim timur, massa air di lapisan atas perairan tersebut terdorong oleh angin timur sampai ke Laut Jawa, Laut Natuna dan Laut China Selatan.   Kekosongan air dilapisan permukaan inilah yang diisi oleh massa air dari bawah yang kaya akan bahan makanan. Internal waves yang tcrjadi sebagai akibat bekerjanya gaya-gaya pasang surut, dan Arus Lintas Indonesia berperan dalam memperkuat proses upwelling ini. Sebuah pepatah yang berbunyi "sambil menyelam minum air'' atau "sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui", rupanya berlaku juga disini. Dalam penelitian ARLINDO yang dilakukan di Laut Banda dan sekitarnya, didapatkan suatu fenomena menarik. Yakni didapatkanya huhungan antara perubahan suhu permukaan laut yang disebabkan oleh percampuran/pengadukan oleh pasang surut dengan intensitas hujan konvektif yang terjadi di Indonesia (TIM SURVEI 1996).






DAFTAR PUSTAKA
Fieux, M.C., E. Andrie, A.G. Charriaud, N. Ilahude, R. Metzl, Molcard, and J.C. Swallow. 1996.

Gordon, A. L., dan Susanto, R. D., 1999, Makassar strait transport: Initial estimate based on Arlindo result, Marine technology society, hal. 32- 34.

Hadi, S. 2006. Diktat kuliah: oseanografi fisis. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Hasanudin, M. 1998. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). J. Oseana, 23(2):1-9. Hydrological and chlorofluoromethane measurements of the Indonesian throughflow entering the Indian Ocean. J. of Geophys. Res., 101(C5):12433-12454.

Webster, P., V. Magana, T. Palmer, J. Shukla, R. Tomas, M. Yanai, and T. Yasunari. 1998. Monsoons: processes, predictability, and the prospects for prediction. J. of Geophysical Research, 103: 14451–14510.

      Webster, P., V. Magana, T. Palmer, J. Shukla, R. Tomas, M. Yanai, and T. Yasunari. 1998. Monsoons: processes, predictability, and the prospects for prediction. J. of Geophysical Research, 103: 14451–14510.

Wijaya, R., F. Setiawan., dan S.D. Fitriani. 2011. Fenomena Arlindo di Laut Seram dan kaitannya dengan perubahan iklim global. Presentasi Seminar Internasional Kelautan, Balai Riset Observasi Kelautan, Bali, 9-10 Juni 2011.

Wyrtki, K. 1961. The physical oceanography of south east Asian waters. Naga Report Vol. 2. University California Press. La Jolla, California. 195p.

Wyrtki, K. 1987. Indonesian through flow and the associated pressure gradient. J. Geophys. Res. Oceans, 92(C12):12941-12946.





Komentar

Postingan populer dari blog ini